Paroki Roh Kudus

Renungan

Home / Renungan
Paroki Roh Kudus

Katolik Bermuka Dua

Renungan Hari Minggu Prapaskah I / A
Kej 2:7-9,3:1-7 ; Rm 5:12-19 ; Mat 4:1-11

 

“Pakne kok belum mandi sih? Sore ini kan ada pertemuan APP di rumah Bu Rukin?” kata Ning Rahayu pada Cak Bedjo, suaminya yang masih nglelet.

“Bentar to, Bune. Ini lho, aku dapat artikel menarik yang dikirim temanku. “Paus Fransiskus: Lebih Baik Jadi Atheis daripada Katolik Bermuka Dua”¹. Sini, bacalah sebentar,” kata Cak Bedjo sambil menyodorkan smartphone-nya pada isterinya. Ning Rahayu pun mendekat di samping Cak Bedjo, menerima smartphone itu, lalu membaca artikel yang dimaksud.

“Waduh... mosok Paus kok bicara keras begini, lebih baik menjadi seorang atheis daripada menjadi seorang Katolik, tapi menjalani kehidupan ganda?... Saya sangat Katolik, tak pernah melewatkan misa, saya bagian dari komunitas ini. Tapi, hidup saya tidak mencerminkan orang Kristen... tidak menggaji karyawan dengan benar, mengeksploitasi orang, melakukan hal-hal kotor dalam bisnis saya, .. memberi persembahan dengan mencuri dari orang miskin... keras banget, Pakne... lho-lho..., ini kok gini sih? ... dia pun pernah berujar, bahkan seorang atheis pun bisa masuk Kerajaan Surga atas pengampunan Kristus...,” Ning Rahayu terdiam sesaat. Smartphone dikembalikannya pada Cak Bedjo. Matanya nampak berkaca-kaca. Lalu, ia sandarkan kepala pada bahu Cak Bedjo.

“Apa yang ada di pikiran dan perasaanmu, Bune?”

“Yah... sepintas ada sesuatu yang terbayang, Pakne. Kita sudah belasan tahun bersama. Suka dan duka kita lalui bersama. Kita juga komit untuk membangun keluarga kristiani sejati. Kita kenalkan Tole dan Gendhuk sedini mungkin dengan iman dan pelayanan Gereja dan sesama. Masih banyak lagi yang lain. Ternyata, semuanya itu sia-sia kalau kita hanyalah “Katolik bermuka dua”. Terus bagaimana coba?”

“Iya, Bune. Kamu benar. Syaiton atau iblis itu bisa menyusup ke setiap lini kehidupan kita kalau kita lengah. Ia bisa berkedok putih suci, penuh kasih pelayanan, tapi berhati hitam penuh dendam, kebencian, iri, dan mencari kepuasan diri. Ia bisa saja membisikkan kata-kata “ayo aktif pergi ke Gereja, ikut kegiatan ini atau itu...”, tapi ketika semua sudah berjalan, ia jadikan kita agen perpecahan lewat tutur kata dan perilaku kita. Ia jadikan kita pula orang yang merasa paling berjasa bagi Gereja sehingga hati kecil kita menuntut penghormatan dari teman-teman kita. Tak sedikit dari kita tergoda untuk mendekat pada Tuhan karena ingin ini dan itu di kehidupan ini. Banyak pula yang jadi orang baik di hidup menggereja, tapi di dunia kerja, bisnis, politik, tak segan berbuat curang dan menghalalkan segala cara.”

“Tapi, Pakne, kenapa kok 'jadi orang atheis' bisa lebih baik sih? Bagaimana pun, orang yang menolak Tuhan kan jauh lebih berdosa dan lebih keji?”

“Bune, kita nggak tahu apa-apa tentang hati orang Atheis. Hanya Tuhan yang tahu. Siapa tahu, dalam hati mereka, mereka sebenarnya mencari terang Allah yang tak dapat mereka temukan dalam diri kita, orang-orang yang mengaku diri beriman pada Allah. Tegasnya, bisa jadi, karena sikap “bermuka dua” kita, mereka itu memilih lebih baik tidak bertuhan. Bisa jadi mereka berpikir: Lha yang bertuhan aja hidupnya kayak gitu, ngapain juga bertuhan. Jadi, kita yang bertuhan ini bisa jadi menghalangi mereka untuk lebih mengenal Allah.”

“Iya, bener, Pakne. Menjadi “Katolik bermuka dua” itu sebenarnya malah memperingan tugas syaiton yang terus saja mencari dan menggoda manusia untuk menjauh dari Allah. Iblis ga usah susah payah seperti dulu ketika mengalahkan Yesus. Cukup, para pengikut Kristus seperti kita ini digoda jadi “Katolik bermuka dua”. Dengan sendirinya, “Katolik bermuka dua” menjadi agen-agen penyalur kejahatannya.”

“Hehehe... maka, tak heran kan di sana, wong katolik kok jadi sumber perpecahan. Di sananya lagi, wong katolik ditangkap KPK karena korupsi. Sikit lagi ke sana, wong katolik melayani dengan pamrih. Sebelahnya sana juga, wong katolik, romo lagi, beh... dolan terus, lupa pada pelayanan umat. Hadeh...”

“Eh... Bapak dan ibuk ni kok malah pacaran sih di sini?” teriak Tole yang membuat Cak Bedjo dan Ning Rahayu kaget dan melepaskan pegangan tangan mereka,”Botol bekas dan sampah plastik yang Tole kumpulin sejak seminggu lalu ada di mana?”

“Oh, itu kamu toh yang ngumpulin, Nak? Itu ibu rapikan di gudang. Untuk apa semuanya itu, Nak?”

“Ah... Bapak dan ibuk ini gimana sih? Tema APP kan “keluarga membangun keadaban ekologis”. Ada tugas dari ibu guru untuk mencatat, mengumpulkan sampah plastik yang dipakai keluarga kita selama seminggu. Terus, sampah-sampah itu dibawa ke sekolah. Bu guru tidak hanya mengajari kami mengurangi sampah plastik, tetapi juga janji akan mengajari kami bikin prakarya dari sampah-sampah itu. Kata Bu Guru, kita jangan gampang tergoda untuk nyampah terus. Kalau kita tergoda, generasi besok yang kena getahnya.”

“Wah... kok pinter kamu, Nak? Hebat...”

“Ya iyalah, Pak. Kata romo kemarin kan jadi orang katolik kok setengah-setengah. Jadi orang katolik itu harus bisa jadi terang bagi sesama dan dunia, termasuk lingkungan hidup. Apa guna jadi orang katolik kalo ternyata bermuka dua... keliatannya berbuat baik sesuai hukum Allah, tapi tetap mencari untuk dan kesenangannya sendiri, sak karepe dewe. Moh aku. Aku katolik sejati, Pak! Hahahahaha....”

“Welah... apa nguping pembicaraan kita tadi ya, Pakne?”

“Hahahaha....”

¹Bacalah https://internasional.kompas.com/read/2017/02/24/12522061/paus.fransiskus.lebih.baik.jadi.atheis.daripada.katolik.bermuka.dua.?page=all

 

Dikutip dari : Warta Paroki No. 10 Tahun X

Oleh : Romo Aloysius Widyawan, PR

 

- Aloysius Widyawan, Pr -